Menafsir Cinta Beda Agama dalam Lagu Mangu Karya Fourtwnty melalui Hermeneutika Romantik


Cinta adalah sesuatu yang begitu manusiawi dan tanda bahwa manusia tersebut normal, namun nyatanya tidak selalu bisa dijalani semudah itu. Ketika cinta datang, ia tidak peduli apakah yang dicintai itu berasal dari latar belakang yang sama atau tidak, salah satunya agama yang menjadi pertentangan sulit antar kedua belah pihak. Dalam konteks Indonesia, cinta beda agama bukan hanya kisah personal, tetapi juga benturan nilai, iman, dan identitas. Ketika rasa sudah menjadi makna disitulah diksi sajak sering bermunculan yang biasanya di utarakan melalui lirik lagu, seperti studi kasus yang saya angkat, yaitu Lagu Mangu karya Fourtwnty yang rilis pada April 2022.

Lagu Mangu karya Fourtwnty yang akhir-akhir ini sedang trending kembali menangkap perasaan getir dengan sangat halus. Lagu ini seperti gumaman lirih seseorang yang mencintai dengan tulus, namun harus melepaskan karena realitas yang tak bisa dinegosiasi, karena latar belakang agama cukup menjadi tembok yang sangat tinggi untuk di lalui. Untuk memahami makna mendalam lagu ini, saya menggunakan pendekatan hermeneutika romantik dari Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher, tokoh besar dalam dunia penafsiran modern.

Mangu, dalam bahasa Bugis, berarti "ragu" atau "bimbang". Tapi lagu ini bukan sekadar tentang kebimbangan biasa. Liriknya mencerminkan ketegangan batin antara rasa cinta yang besar dan kenyataan bahwa cinta itu tak bisa dilanjutkan. Sebagaimana dalam salah satu bagian liriknya:

"Jangan salahkan fahamku kini, tertuju oh"

"Siapa yang tau"

"Siapa yang mau"

"Kau di sana"

"Aku di seberang mu"

"Cerita kita sulit dicerna"

"Tak lagi sama"

"Cara berdoa"

Dalam hermeneutika Schleiermacher, setiap teks (termasuk lagu) bukan sekadar deretan kata, melainkan pancaran batin pengarang. Schleiermacher menyebut bahwa pemahaman terhadap sebuah teks harus dilakukan tidak hanya dari segi bahasa (gramatikal), tetapi juga psikologis, yakni menelusuri kembali dunia batin si pencipta lagu

F.D.E. Schleiermacher meyakini bahwa hermeneutika adalah seni memahami (the art of understanding). Bukan sekadar membaca kata demi kata, tetapi masuk ke dalam jiwa sang pengarang. Ia menyatakan bahwa,

“Memahami suatu teks adalah memahami sebaik dan bahkan lebih baik dari pengarangnya”

Dalam hal ini, saya mencoba memahami Mangu sebagai ekspresi batin Fourtwnty sebagai upaya mereka merekam emosi seseorang yang berada dalam situasi cinta beda agama. Perasaan sayang yang ingin bersama, tapi tahu bahwa iman telah membatasi langkah mereka.

Schleiermacher memperkenalkan dua cara dalam memahami teks, yaitu komparatif dan divinatoris. Nah yang saya gunakan adalah pendekatan divinatoris yang menjelaskan tentang cara memahami karangan secara intuitif dengan membayangkan dan merasakan apa yang dirasakan si penulis.

Dalam lagu Mangu, jika kita menempatkan diri sebagai narator dalam lagu itu, kita akan merasakan bagaimana cinta bisa sangat dalam, tapi sekaligus terpaksa dipendam karena hal yang tak bisa disatukan karena sebuah perbedaan keyakinan. Schleiermacher menyebut proses ini sebagai Einleben yang masuk ke dalam dunia batin pengarang.

Selain pendekatan intuitif, Schleiermacher juga menekankan pentingnya memahami bahasa dan jiwa pengarang secara bersamaan. Ia mengatakan bahwa setiap pemahaman harus mencakup dua momen, yaitu struktur bahasa dan intensi batin. Dalam lirik lagu Mangu, struktur bahasanya sederhana dan repetitif, tetapi justru karena itulah terasa jujur dan dekat.

Seperti halnya dala lirik kata “menggenggam”, “menadah”, dan “aku di seberangmu” mengandung kesedihan mendalam yang tidak perlu dijelaskan dengan panjang lebar. Kata-kata tersebut dapat bicara langsung ke hati.

Sebagai penutup dari tulisan ini, cinta beda agama mungkin adalah salah satu bentuk cinta paling tulus karena tahu tak akan bersama, tapi tetap mendoakan. Lagu Mangu mengajak kita untuk melihat bahwa mencintai tak selalu berarti memiliki, dan melepaskan bukan berarti berhenti mencintai.

Dalam terang hermeneutika romantik Schleiermacher, kita belajar bahwa memahami bukan sekadar soal teks, tetapi soal perjumpaan batin antara penulis dan pembaca, antara yang mencipta dan yang merasakan. Dan pada akhirnya, sebagaimana Schleiermacher tekankan, pemahaman sejati adalah ketika kita mampu merasakan makna yang bahkan belum tentu disadari oleh penciptanya sendiri.

 Referensi:

Syafieh, M. Fil. I. (n.d.). F.D.E. Schleiermacher dan Hermeneutika Romantisme Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and Criticism and Other Writings. Cambridge University Press.



Kamila, 2025

Komentar